Wednesday, March 28, 2007

TEHNIK BERPIDATO








Oleh

PERIBADI

(Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Koordinator Umum Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi (MPPI) Sulawesi Tenggara)

Sang komunikator memerlukan kecerdasan intelektual dalam bentuk konseptual, kecerdasan emosional untuk berempati dan kecerdasan spritual untuk lebih persuasif.

1. KECERDASAN SPRITUAL

Kecerdasan spritual adalah sebuah filosofi kehidupan bahwa ”Allah is my everything in life university”, sehingga status position menjadi nomor dua. Dan pasti bisa, karena ”Nothing is impossible, everything is possible if you believe in Allah”.

2. KECERDASAN EMOSIONAL

Kita upayakan agar kita tidak mengenal kata tidak mungkin, karena ”Looser says its possible but too difficult, but winners say its too difficult but possible” untuk menggapai esensi pertarungan hidup, karena “The real champion is not just winning the competition, but everyone who can stand up for every failure”.

3. KECERDASAN INTELEKTUAL

Seorang reformis, harus memahami makna perubahan, “Change is a transformation procces from the comfort zone into discomfort zone”. Dan cerdas memproses kehidupan masa depan, yakni “Taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan petiklah karakter, taburlah karakter dan petiklah nasib”. Camkan, ternyata kunci masa depan adalah gagasan yang bergulir menjadi nasib.

4. KECERDASAN BERKOMUNIKASI

Belajarlah, karena ”The quality of human kind atau the quality of mind kind depend on the quality of communication”. Oleh Kang Jalal, faktor miskomunikasilah yang menjadi penyebab jatuhnya bom atom

di Kota Nagasaki dan Herosima Jepang.

5. KECERDASAN MENGHARGAI DIRI SENDIRI

Terlebih dahulu kita harus cerdas memimpin diri kita sendiri, sebab “How can you lead other people if you can not lead your self”. Belajarlah menghargai diri sendiri, karena ”How can the people appreciate with you, before you appreciate with your self”.

6. KECERDASAN KREATIVITAS

Ingatlah bahwa “The quality of reward depends on the quality of effort. Meskipun “At the first you make habits, at the last habits makes you. Karena itu, if you want to be success, follow the success person. Dan jangan ragu dan takut melakukan perubahan, sekalipun terus melakukan kesalahan, karena ”Its not a big mistake when you make the mistake doing the job, but its the high mistake when you never do the big job.

Ikhwal kedua yang harus dimiliki oleh seorang orator adalah kesiapan yang sifatnya tehnis:

1. Persiapan Busana

Usahakan memakai pakaian yang polos saja dan usahakan yang berwarna putih sebagai mana anjuran Rasulullah yang bersabda bahwa sebaik-baik pakaian adalah yang berwarna putih.

2. Persiapan Jasadiyah

Komunikasi adalah sebuah proses interaktif yang totalitas, sehingga potret tubuh, harus dalam kondisi fit (prima). Karena itu, hendaklah pembicara selalu menjaga kebersihan dan kesehatan serta beristirahat yang cukup, sebelum tampil.

3. Persiapan Keilmuan

Modal dasar seorang pembicara adalah ilmu yang cukup, sehingga mampu merespon berbagai pertanyaan yang sifatnya skeptis, ktiris dan konstruktif serta dialogis.

4. Persiapan Mental

Mungkin saja materi yang disampaikan sudah bagus. Akan tetapi, karena minder dan gemetar, sehingga materi yang sebenarnya bagus itu menjadi tidak menarik pendengar.

5. Ketepatan Waktu

Pembicaraan yang terlalu panjang akan membuat pendengar bosan dan mungkin tidak mau lagi mendengar. Ingatlah, ”makin banyak kita bicara, maka kian bertambah orang yang tidak percaya”.

Konteks ketiga adalah sekilas metodologi penyusunan materi yang akan disampaikan di tengah khalayak

1. Pentingnya sebuah catatan pinggir

Buatlah catatan-catatan pinggir yang dianggap penting untuk mendukung argumentasi pembicaraan. Jangan malu melihat dan membaca konsep, jika memang kita belum menguasai.

2. Menyatakan Pokok Masalah

Kita harus menyatakan pokok masalahnya, menguraikan kandungannya, dan menjelaskan topiknya. Kita terangkan kepada umat mengapa isu itu penting untuk diperhatikan. Kemudian kita harus menyatakan kira-kira apa yang harus kita capai dari ceramah itu.

3. Menguraikan Permasalahan

Kita perlu menerangkan latar belakang sejarah dan pelajaran-pelajaran yang bisa kita ambil dari masa lampau. Kita mulai dengan urutan topik, bukan urutan kronologis. Dan ini yang lebih efektif, sehingga orang memahami dengan jelas mengapa permasalahan tersebut aktual.

4. Menyoal Masalah aktual dan problematik

Ada baiknya kita menyebut fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat seperti: KKN, Manipulasi, Pembunuhan, Perzinaan, PIL- WIL, dan sebagainya. Ini dimaksudkan agar kita peduli terhadap masalah-masalah yang berkembang di sekeliling kita dan sekaligus sebagai gambaran atas ”malunya banyak orang edan untuk memiliki rasa malu”. Demikian pula, soal bencana alam yang menimpa umat, seperti: gunung meletus, gempa bumi tanah longsor, banjir, dan bencana atau gempa sosial lainnya.

5. MeNGUNGKAP PROSES Penyelesaian INTEGRAL

Pentingnya upaya perbandingan dengan pergulatan hidup masa lalu, sehingga memungkinan kita dapat melihat pada orang-orang terdahulu yang pernah berhasil menyelesaikan kebrutalan masyarakat. Dimana letak persamaan dan perbedaannya dengan masa kini, yang kebetulan saja kita tengah dirundung malang dan nestapa kehidupan kontemporer.

EPILOG

The final decision making on Allah”. Kalau Allah berkenaan membuka hati pendengar, maka berarti sang komunikator sukses gemilang. Jadi, apapun metode dan strategi retorika yang telah digunakan. Akan tetapi, jika Allah belum berkenaan memberi petunjuk hamba-hamba-Nya yang melata di bumi ini, maka bersabarlah dan berdoalah rekan-rekan.

WAHYU SISTEM, ESQ POWER

oleh

Peribadi

(Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Koordinator Umum Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi (MPPI) Sulawesi Tenggara)

PROLOG. Ikhwal kebrutalan pelajar dalam pelbagai aksi yang diperagakan di sekolah serta perilaku pragmatisme out put lembaga pendidikan di berbagai status position, tampak amat signifikan dengan sistem pendidikan nasional yang gagal mencerdaskan dan mencerahkan. Kita yakin, tak seorang pun yang memungkiri, dan apalagi menolak signifiknasi antara degradasi mental dengan sistem pendidikan ala Orde Baru yang hingga saat masih diberlakukan.

Kecerdasan intelektual sebagai orientasi utama yang menelan cukup banyak biaya ekonomi dan biaya sosial, ternyata belum juga berhasil kita gapai. Tak pelak lagi mempersoalkan kecerdasan emosional dan lebih jauh lagi tentang kecerdasan spritual ? Mungkin kita tak ubahnya merabah di kegelapan malam nan gelap gulita.

DIALOGIS. Tak ada salahnya kalau dimulai dengan mempermasalahkan virus pendidikan nasional kita. Di mana sesungguhnya biangkladi proses pendidikan yang hingga kini belum berhasil membentuk karakter dan kepribadian yang tangguh ? Apakah ikhwal ini erat kaitannya dengan kepedulian kita yang memang cenderung menganggap “pendidikan itu kurang penting” ? Dalam konteks dana pendidikan misalnya, memang bisa jadi isyarat bahwa pemerintah belum serius mencerdaskan anak-anak bangsa. Namun yang lebih faktual bahwa filosofi dan paradigma pendidikan kita selama ini enggan menerapkan sistem dan metode pendidikan yang bernuansa Rabbani. Karena boleh jadi kita mengklaim bahwa metodologi pencerahan menurut kerangka Rukun Iman, Islam dan Ihsan berdasarkan “wahyu sistem” adalah konvensional. Meskipun demikian, tulisan ini adalah mencoba mengacu pada Pola Sistematika Wahyu yang dielaborasi oleh murid Abdullah Said dan Pola ESQ Power sebagai rahasia sukses membangun SDM plus yang digagas Ary Ginanjar Agustian.

A. REFLEKSI PARADIGMA WAHYU SISTEM

Pendidikan dalam perspektif “Wahyu Sistem” merupakan Manhaj Rabbani atau Paradigma Pendidikan Ilahiah yang dilatari oleh sebuah upaya maksimal dalam kerangka memenuhi perintah Allah SWT untuk melanjutkan risalah perjuangan Rasulullah Muhammad SAW yang ketika itu terbukti amat sukses mencerahkan para sahabat dan orang-orang di sekitarnya.

Ada rahasia apa yang terkandung dalam proses pengkaderan Nabiullah Muhammad SAW ini ? Pasalnya, prototipe dan profil manusia yang berhasil dirakit menjelmah dari sebuah proses pembelajaran dan pegkaderan dalam kerangka “wahyu Sistem” sebagai sistem pendidikan yang menempah manusia untuk mengenal eksistensi, mencintai alam, lingkungan sekitar, dan mengenal pencipta (Al Khaliq) serta cerdas memperhambakan diri kepada-Nya.

Menurut Uztas Abdullah Said bahwa pola rakitan tersebut sepenuhnya mengikuti perjalanan Kenabian Muhammad yang bermula dari kurun waktu pra wahyu hingga ke kurun waktu wahyu. Dalam konteks “Pra Wahyu”, sejak bayi hingga menanjak remaja, Muhammad diyatimpiatukan, mengembala kambing, berdagang dan kemudian berguahira. Sementara pada masa wahyu, justru perintah tentang membaca (Iqra) dan menulis (Qalam) yang pertama dan kedua diturunkan secara berantai.

Menurut Agustian, keberadaan Muhammad sebagai anak yatim-piatu merupakan proses pembebasan ruang pemikiran dan rongga dada (Zero Mind Process) dari segala macam virus dan bakteri yang terkandung dalam “isme jahiliah” ketika itu. Demikian pula sebagai pengembala kambing, sesungguhnya merupakan proses training center penggodokan, penempahan, dan pengkaderan bagi seseorang yang diprakondisikan untuk menjadi pemimpin masa depan. Dalam artian, sebelum memimpin anak manusia, maka ia terlebih dahulu diuji-coba dalam mengorganisir binatang yang amat susah datur.

Sementara proses kehidupan yang bersunyi-sunyi di Guahira, sesungguhnya merupakan puncak dari sebuah upaya Zero Mind process untuk menyingkirkan atau menanggalkan pelbagai belengguh perbudakan “ilah”. Dan proses penguburan ilah-ilah dimaksud, terus berlangsung hingga memasuki kurun waktu masa wahyu.

Secara spektakuler, konsep, metode dan strategi Wahyu Sistem melalui konsep ESQ Power yang dikembangkan berdasar pada 6 Rukun Iman, 5 Rukun Islam dan Ihsan, Ary Ginanjar dengan sukses gemilang menunjukkan teka-teki misteri sebagai sinyal ketidakmampuan para ahli psikologi terdahulu sekaliber J.B. Watson, Freud, Dana Zohar, Viktor Frankl. Pada satu sisi, Agustian berhasil mengikis kesombongan ilmuawan barat serta para aktivis Maslow-isme dan Darwin-isme yang pada saat ini berlabelkan “Spilis” (Sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Namun pada sisi lain, penemuan spektakuler atas konsep 6, 5 dan 1 mampu mengentaskan kedunguan, kekerdilan dan keterbelakangan kaum penganut agama Tauhid yang selama ini dijangkiti gejala penyakit inferior.

Betapa menakjubkan dan mengagumkan, Nabiullah Muhammad SAW berhasil merakit kecerdasan para sahabatnya dan tentu saja masih ada sebagian kecil pengikutnya di akhir zaman tampil menjadi manusia yang “berhati emas dan bermental baja”. Sementara kita di era teknologi digital kekinian, terkesan dan tampak saling mencemoh, menghujja, memfitnah dan bahkan saling bermusuhan atau saling menumpahkan darah.

Kini, melalui konsep psikologi yang dinamakan “Psikologi Asmaul-Husna” inilah, Agustian dapat memperjelas garis orbit atau garis edar tata surya alam dan tata surya sosial yang secara transparan menempatkan Tuhan sebagai pusat orbit atau pusat gravitasi kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan spritual yang built in di dalam tubuh anak cucu adam itu sendiri.

1. Aktualisasi Pendidikan Pra Wahyu

Uraian reflektif di atas mengandung makna bahwa paradigma dan strategi pendidikan yang harus diaktualisasikan dalam rangka menumbuhkembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di tengah nestapa masyarakat kontemporer, adalah dengan sistem dan proses pendidikan yang sistemik, universal dan membumi.

Secara sistemik, berarti proses pendidikan yang harus diaktualisasikan sejak awal hingga ke liang lahad adalah sebuah proses pembelajaran yang berlangsung secara integral antara kurun waktu “Pra Wahyu” yang dapat membuahkan kecerdasan emosional serta kecerdasan kreativitas serta masa “wahyu” yang mampu menumbuhkan kecerdasan intelektual. Sedangkan secara universal, proses pendidikan yang dilaksanakan dalam semua tahapan tersebut, harus mampu menciptakan fakultas otak dan fakultas rohani sebagai suatu Universitas Insan Kamil”. Demikian pula secara grounded atau membumi, maka out pun yang harus dijebolkan oleh sebuah lembaga pendidikan adalah potret alumnus yang berkarakter baja, berkepribadian emas dan ikhlas mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara serta cerdas memperhambakan diri kepada Pencipta-Nya.

Pertama, kalau sejak bayi hingga menanjak remaja, diyatimpiatukan, mengembala kambing, berdagang dan berguahira sebagai isyarat perjalanan hidup yang membuahkan pencerahan, pembentukan karakter dan kepribadian tangguh. Maka tentu saja, sistem, strategi dan proses pendidikan yang harus diaktualisasikan dewasa ini, adalah terlebih dahulu kita menyusun sebuah kurikulum yang dapat merefleksikan serta mengaplikasikan makna yatim-piatu ke dalam fakultas otak dan fakultas rohani siswa dan pelajar dari berbagai lingkaran setan kehidupan masyarakat kontemporer. Demikian pula harus ada kurikulum yang beorientasi pada upaya pemusatan latihan (training center) dan pemusatan konsentrasi (concentration center).

Jika Implikasi dari konteks yatim-piatu sebagai Zero Mind Process atas segala macam virus dan bakteri “isme jahiliah tradisional” di Jazirah Arab ketika itu. Maka berarti, kini para siswa dan pelajar dapat diyatim-piatukan dari segala macam virus kehidupan tata dunia baru yang mengganas dan mengkangker di tengah “jahiliah modernisme” dengan cara mengatur waktu atau merumuskan metode tontonan anak-anak di depan layar TV. Demikian pula sangat urgen merumuskan tata cara interaksi sosial dan tindakan komunikasi di ruang sosial pergaulannya. Dengan demikian, sangat dibutuhkan kepekaan, kepedulian dan partisipasi semua pihak, terutama kedua orang tua dan guru sekolah formal dan non formal.

Kedua, selain ikhwal kurikulum yang bermakna pembebasan, juga takkala pentingnya program pengembangan potensi fisik yang bernuansa kemampuan mengorganisir melalui suatu pola dan mekanisme training center. Jika proses pengembangan fisik Muhammad digenjot melalui bentuk pengembalaan jenis binatang. Maka, sudah saatnya pemerintah merumuskan suatu pola kontesktual yang dapat memprakondisikan putra-putri bangsa sebagai calon pemimpin masa depan. Hal ini, tentu saja membutuhkan kajian yang lebih khusus dengan melibatkan semua stakeholder dalam upaya merumuskan pola dan mekanisme yang lebih konstruktif dan aplikatif. Namun Paling tidak, dengan pola tersebut dapat menggenjot sense of belonging dan sense of responsibility siswa-siswi termasuk mahasiswa. Karena tidak mengherankan, apabila dewasa ini bangsa dan negara tercinta ini tengah dilanda krisis jati diri dan figur pemimpin di berbagai lembaga supra struktur dan infra struktur yang dapat ditauladani. Pasalnya, selama ini belum ada di dalam kurikulum pendidikan yang dapat mempersiapkan secara khusus generasi masa depan yang dapat mengidentifikasi bakat dan kecenderungan mereka untuk menjadi seorang yang professional. Pada gilirannya, yang terjadi adalah kecenderungan tampil secara insidental untuk menjadi guru, politisi, pengusaha dan penguasa ke depan.

Ketiga, jual beli dan berdagang sebagai salah catatan penting yang menandai proses perjalanan kerasulan Muhammad, sesungguhnya selain merupakan training kemandirian kehidupan sosial ekonomi, juga merupakan konkritisasi dari sifat kejujuran yang sejak awal memang telah dimilikinya. Karena itu, ikhwal kurikulum Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang kini mulai santer diwacanakan, selain memang sebagai indikasi kekecewaan semua pihak atas perilaku pragmatisme yang ditunjukkan tanpa rasa malu oleh oknum aparat, juga mungkin merupakan sebuah refleksi dari kesadaran yang sudah memuncak akan betapa urgennya sebuah sistem pendidikan alternatif yang dapat mengentaskan rasa dan sikap kejujuran anak-anak zaman.

Jika demikian, di dalam menyusun konsep kurikulum pendidikan yang dapat melahirkan manusia-manusia “Al Amin”, maka semua komponen perjalanan kehidupan dan kenabiaan Muhammad harus menjadi muatan integral dan interdependen. Sebaliknya, konsep kurikulum yang akan dirumuskan tidak boleh bersifat tambal sulam. Akan tetapi, harus merefleksikan secara totalitas sejak keberadaan Muhammad dalam kandungan yang ditinggal pergi ayahnya kemudian lahir menjadi bayi yang juga ditinggal mati ibunya. Demikian pula kepada Pamannya yang satu-satunya tempat belaian kasih dan sayangnya, pun pergi meninggalkannya.

Dalam konteks ini, tidak berarti bahwa kita mengharapkan agar pelaku kasih saying siswa dan siswi, pun harus pergi meninggalkannya. Akan tetapi, harus tercipta sebuah proses pembelajaran yang dapat menumbuhkan jiwa kemandirian sang anak. Dalam artian, tidak boleh ada sesuatu (ilah) yang dapat diandalkan sebagai tempat bergantung, kecuali kepada Tuhan pencipta alam semesta. Demikian pula, tidak berarti sang anak harus mengembala kambing, akan tetapi harus ada implikasi pengembalaan dalam sebuah kurikulum yang dapat menumbuhkan jiwa kemandirian.

Betapa tidak, selain jiwa kemandirian yang pada gilirannya dapat membuahkan visi, persepsi, sikap dan perilaku kejujuran, juga pada akhirnya dapat menciptakan jiwa kemerdekaan universal yang kehadirannya saat ini sangat dirindukan masyarakat yang dibingungkan oleh perilaku pragmatisme aparat serta perilaku generasi manja, cengeng dan emosional. Upaya antisipatif atas ikhwal ini, sungguh-sungguh mendesak direkonstruksi melalui suatu sistem pembelajaran integral yang religius, humanis dan arif.

Keempat, Akhirnya proses kehidupan yang bersunyi-sunyi di Guahira, sesungguhnya merupakan puncak dari sebuah upaya Zero Mind process untuk menyingkirkan atau menanggalkan pelbagai belengguh perbudakan “ilah” yang cenderung diandalkan oleh orang-orang yang dijangkiti gejala kematian akal sehat. Betapa ironisnya, ketika kita mendengar seorang kandidat yang menjadi public figur menghadap ke haribaan seorang dukun (paranormal) yang dianggap sakti manderaguna untuk memintai campur tangannya dalam memasuki arena pertarungan Pilkada atau ketika ingin merenggut sebuah status position.

Sebaliknya, betapa pula mengagungkan ketika membaca sebuah hasil penelitian yang berhasil menemukan rahasia kesuksesan yang gilang-gemilang dicapai oleh salah satu perusahan raksasa di Jepang. Resep jitu yang diinformasikan oleh Agustian bahwa para karyawan sebelum memasuki arena pekerjaan rutinitas, terlebih dahulu digiring ke dalam suatu ruangan kosong untuk melakukan perenungan (kontemplatif) selama ± 5 menit. Demikian pula ketika di siang hari seusai kerja keras, para karyawan kembali digiring ke dalam ruangan kosong tersebut dan seterusnya menjelang mereka kembali ke rumah dan hingga pada esok harinya kembali melakukan praktek yang sama.

Kalau kita menyadari bersama bahwa bagi mererka yang kebetulan beragama Islam, sesungguhnya sudah tersedia resep perenungan yang lebih substansial dalam bentuk shalat subuh yang dilakukan sejak bangun tidur, shalat wadduha yang dilakukan sebelum beranjat beraktivitas dan kembali shalat dhuhur sesusai beraktivitas dan seterusnya shalat azhar.

Atas dasar pola ini, maka selain memang merupakan kewajiban sebagai umat beragama, juga telah berhasil dibutikan secara aplikatif sebagai kunci kesuksesan yang memuncak digapai oleh seorang pengusaha raksasa. Maka berarti, sangat relevan jika sebelum proses belajar mengajar di dalam kelas dilangsungkan, terlebih dahulu siswa-siswi dibekali metode kontempelasi, atau sekalian menjadi aturan khusus untuk mempraktekkan shalat wadduha secara berjamaah sebelum memulai belajar.

2. Aktualisasi Pendidikan Wahyu

Secara sistemik, dalam konteks wahyu ini, surat Al Alaq perintah tentang membaca justru paling pertama dan utama diwahyukan Allah SWT. Kian menakjubkan lagi, karena surat Al Qalam perintah menulis menjadi skala prioritas wahyu kedua yang turun dari langit. Dengan demikian, berarti proses pembelajaran harus dimulai dengan metode membaca dan menulis. Jika kedua program awal ini dapat berlangsung maksimal, maka sudah pasti fakultas otak dapat terbangun dengan produk kecerdasan intelektual yang mampu membaca dengan kerangka “Isme Rabbika”. Ikhwal ini sangat urgen, karena selain bangsa dan negara kita belum berhasil memproduk out put lembaga pendidikan yang setara dengan negara-negara tetangga, juga tampak fenomenal adanya perilaku kesombongan intelektual. Sementara itu, nestapa kehidupan bangsa dan negara kita tercinta ini, sangat membutuhkan kehadiran intelektual dan cendikia-cendikia yang cerdas memperhambakan diri kepada pencipta-Nya melalui proses pembelajaran dengan kerangka “Isme Rabbika” dimaksud. Karena out put pendidikan yang selama ini merupakan hasil karya, rasa dan cipta “isme kapitalis”. Sehingga tidak mengherankan, kalau kontribusi kaum ilmuawan cenderung kolutif dengan penguasa untuk menggapai kepentingan dan kepuasan temporer.

Kian mencengangkan lagi, karena ketika fakultas otak sudah dianggap mapan dan tangguh oleh Allah SWT, maka penguasa kerajaan langit dan bumi yang Maha segala-Nya ini mewahyukan kerangka lanjutan metodologis, yakni menurunkan surat Al-Muzammil sebagai resep jitu untuk menumbuhkembangkan kecerdasan emosional dan spritual dalam sebuah lembaga pendidikan yang disebut Fakultas Rohani.

Tentu saja dengan menyadari panorama kehidupan moderen dengan segala dampaknya dalam konteks paradigma pendidikan kapitalistis yang menindas. Maka, selain pentingnya keberadaan fakultas otak dalam kerangka Isme Rabbika tersebut, juga sangat dibutuhkan proses pengembangan fakultas rohani yang mampu memproses kecerdasan emosional dan sekaligus peletakan dasar kecerdasan spiritual. Atas dasar inilah, sehingga Allah SWT menurunkan Surat ketiga Al Muzammil sebagai upaya pendakian rohani menuju kebangkitan spiritual melalui upaya bangun malam untuk bertahajjud ketika semua orang terlena di bantal balutan. Potensi Rohani hanya bisa digapai dengan metode qiyamul lail, bukan dengan cara mendatangi dukun atau paranormal yang nota-bene sakti mandera-guna yang sekaligus mungkin palsu.

Pada gilirannya, seorang muslim sejati yang telah memperoleh potensi fakultas otak dan rohani melalui proses pembelajaran dari ketiga surat yang diturunkan terdahulu. Maka seterusnya, diuji-coba pola pikir, sikap dan prilaku serta nuraninya secara lebih ulet, tanguh dan tajam dengan amanah dakwah melalui perintah surat keempat Al Mudatsir.

Dalam tataran pergumulan dan pergulatan inilah, seabrek simbol pejuang dan sejenisnya mungkin berguguran. Namun bagi mereka yang telah menyatukan langkah dengan perintah Al Mudatsir, besar peluang untuk berhasil melewati medan jihad dan akan menelorkan life university dan kampus peradaban Islam yang bernuansa Rahman dan Rahim sebagai refleksi dari surat kelima Al Fatihah.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa pola Nuzulnya Wahyu ini, kita tidak coba refleksikan dan aplikasikan dalam kerangka kita mencerdaskan dan mencerahkan anak-anak bangsa ini ? Mengapa kita tidak mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang di dalamnya, terdapat fakultas otak dan fakultas rohani dengan konsep kurikulum integral dan interdependen yang bermuatan metode membaca, menulis, berkontempelasi (Shalat) dan beraktivitas (dakwah), sehingga siswa, pelajar, mahasiswa cerdas menciptakan perkampungan Al Fatiha yang penuh Rahman dan Rahim-Nya ? Dan mengapa UU, PP dan Perda pendidikan yang dijebolkan selama ini masih enggan mengikuti Paradigma Wahyu system tersebut?

B. ESQ POWER

Menurut Agustian, upaya Zero Mind Process (ZMP) melalui metode kontemplatif (berguahira) adalah betujuan untuk mengikis semua unsur yang menutup bingkai “God Spot” (Fitrah) dalam bentuk prasangka negatif, prinsip hidup, pengalaman hidup, vested interes, sudut pandang, perbandingan dan pengaruh referensi bacaan. Proses penguburan Virus dan bakteri seperti inilah yang pertama harus menjadi muatan program fundamental dalam suatu kurikulum pendidikan integral. Tampaknya, pengembangan program seperti ini telah berlangsung pada kurun waktu “Pra Wahyu”.

1. Aktualisasi Pendidikan Rukun Iman

Namun ketika memasuki masa “Wahyu”, maka program kedua, adalah mengarah pada upaya pembangunan mental (mental building) peserta didik melalui 6 tangga Rukun Iman yang selama ini tidak berhasil dinikmati khasiat tabletnya. Karena disamping hanya menjadi bahan hapalan temporal siswa, juga tidak dijelaskan kandungan prinsip subtansial yang termaktub di dalamnya.

Betapa kesenjangan menganga lebar dan tak ubahnya antara langit dan bumi jaraknya. Dalam kurikulum pendidikan nasional dan seluruh daerah pada umumnya, belum pernah ada upaya mengkaji Star Prinsip imaniah sebagai tangga pertama bertaqarrub kepada Tuhan sebagai pusat dari segala unsur peredaran tata surya alam dan tata surya sosial. Belum ada keseriusan upaya pengendalian Angel Prinsip kepercayaan kepada sifat istiqamah dan kejujuran yang menjadi karakter khas para Malaikat, sehingga siswa-siswi tidak mengetahui bahwa ternyata maksud kita untuk percaya kepada Malaikat, adalah berarti sekaligus mengikuti ketaatan dan kejujuran Malaikat.

Tak pelak lagi kepercayaan kepada pengendalian Leadership Principle kepada potret, profil dan prototipe kepemimpinan Rasulullah yang harus diidolakan serta disuritauladani, sehingga siswa-siswi mengalami krisis idola dan bahkan cenderung mengidolakan figur-figur lain yang mungkin saja amoral dan asosial. Hingga kini, sungguh-sungguh belum maksimal kepercayaan kita kepada Al Kitab yang sesungguhnya mengandung Learning Principle sebagai sumber pengatahuan dan kerangka konseptual-teoritis dalam upaya membedah fenomena alam dan sosial kemasyarakatan. Selama ini, siswa, pelajar dan mahasiswa tidak memahami bahwa percaya kepada Kitab Suci adalah berarti harus memiliki kebudayaan membaca dan sikap peradaban keilmuan yang mencerahkan dan mensejahterakan kehidupan sekitar. Bukan sebaliknya, tidak kritis dan bahkan cenderung kolutif terhadap pelaku dehumanisasi, deforestasi dan degradasi peradaban yang kemudian menjelmah menjadi kebiadaban.

Percaya pada hari kemudian sebagai Vision Principle yang berorientasi pada jangka panjang, tampak dan tarasa sekali terabaikan oleh hampir semua kalangan, terutama kaum elite yang diamanahi jabatan sekonyong-konyong mereka menjelmah menjadi “Orang Kaya Baru (OKB)”. Hal ini terjadi, karena selama mereka di bangku pendidikan, belum pernah diajarkan bahwa percaya pada hari kemudian adalah berarti harus berpikir ke depan. Bukan berpikir dengan pola “memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, mengunting dalam lipatan dan memancing di air keruh” yang kini digandrungi oleh kebanyakan warga masyarakat kontemporer.

Akhirnya, pengendalian Well Organized Principle merupakan sebuah kepercayaan atas keteraturan hukum alam dan hukum sosial yang telah didesain sedemikian rapi dan tunduk atas segala ketentuan Allah SWT. Pada umumnya, mungkin kita benar-benar “salah didik”, karena kita tidak pernah diajarkan sebuah refleksi kehancuran yang akan terjadi, apabila ada salah satu planet tata surya alam yang tidak beredar pada garis edar (keluar dari garis edar) yang telah digariskan Pencipta-Nya. Dapat dibayangkan, jika planet Mars misalnya, minggir atau miring dari edarnya, maka seketika langit dan bumi beserta seluruh isinya, hancur berantakan.

Namun patut disayangkan, karena seolah kasus kehancuran tata surya alam tersebut, selain terabaikan oleh kerangka referensi yang berbasis kurikulum, juga belum menjadi inisiatif tersendiri bagi kaum pengajar yang seharusnya cerdas berimprovisasi dengan refleksi-refleksi pemikiran yang bernuansa pendidikan. Akibatnya, tidak terbayangkan dan bahkan seolah dianggap tidak sama bahwa kalau ada salah satu planet yang keluar garis edar, maka tata surya alam akan porak-poranda. Sesungguhnya, hal ini sama-sama terjadi dalam konteks tata surya sosial bahwa jika ada salah satu planet Partai Politik misalnya, keluar dari platform politik atau koridor politik yang telah digariskan, maka tata surya sosial kita akan mengalami kehancuran sebagaimana berantakannya tata surya alam dimaksud.

Demikian pula dalam konteks Ipoleksosbud lainnya. Saksikanlah kini, bagaimana berantakan dan kacau balaunya roda perpolitikan, perekonomian, pemerintahan dan nilai-nilai kebudayaan kita. Semua ini terjadi, akibat dari oknum-oknum yang bersangkutan cenderung keluar dan menyimpang dari aturan main yang telah digariskan. Karena itulah, selain muatan kurikulum yang berbasis “Isme Rabbika” belum menjadi perhatian yang menarik bagi kalangan pengambil kebijakan di bidang pendidikan, juga proses rekruitmen tenaga pengajar yang belum menjadikan indikator penilaian kelulusan dan ketidaklulusan atas kemampuan daya pikir reflektif calon pengajar dimaksud. Akibatnya, betapa banyak pengajar yang tidak hanya belum memiliki kemampuan daya pikir reflektif. Akan tetapi, juga betapa banyak yang telah tampil menjelmah menjadi “guru dadakan” karena faktor pencarian lapangan kerja.

2. Aktualisasi Pendidikan Rukun Islam

Dalam konteks yang lebih aplikatif, maka proses belajar yang harus dikembangkan dalam upaya menggapai ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial adalah melalui 5 tangga Rukun Islam. Penetapan misi (Mission Statemen) sebagai tangga pertama yang harus diucapkan secara sadar, disamping merupakan konkritisasi dan manifestasi Zero Main Process yang menghasilkan angka 0 dan hingga memunculkan angka 1 (Laa: 0 Ilaha dan Illallah: 1). Angka 1 yang apabila dibagi dengan angka 0, maka hasilnya hampir mendekati tak terhingga. Artinya, apabila kita menuhankan Allah Yang Satu dan kemudian kita meletakkan diri dalam status hamba sebagai proses dari menzerokan diri di hadapan-Nya, maka kita akan menuju dan taqarrub kepada kekuatan Sang Maha Tak Terhingga. Dan pada saat inilah kita mampu memfungsikan kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual sebagai senjata pamungkas yang amat handal dan tak ada sesuatu pun yang mampu menandingi-Nya.

Kian jelas bahwa kalau beberapa bentuk abastraksi yang telah dilewati sebelumnya sebagai upaya eliminasi dan netralisasi berbagai virus dan belenggu yang melingkari kehidupan ini. Maka kini, mulai dikonkritkan dalam sebuah statemen ikrar yang ditandaskan secara berulang kali bahwa “tiada sesuatu pun di bumi dan di langit yang patut dinomorsatukan, kecuali Tuhan Yang Maha Atas Segalanya”. Dalam artian, yang lain adalah boleh-boleh saja dipercaya dan diandalkan. Akan tetapi, semua yang lain itu harus dinomorduakan atau dinomorsekiankan. Ikhwal inilah yang harus tertancapkan ke dalam pikiran dan nurani pada pelajar dan terpelajar. Akan tetapi, bagaimana bisa membumikan ikrar tersebut, jika tidak ditopang oleh perangkat keras dan perangkat lunak sistem pendidikan nasional ? Sementara itu, kenyataan empirik menunjukkan bahwa out put lembaga pendidikan setinggi apapun saat ini, tampaknya cenderung dan bahkan cukup faktual mendewakan harta, tahta dan wanita (3 TA). Akibatnya, berbagai cara (menghalalkan berbagai cara) yang digunakan oleh anak-anak zaman dalam menggapai sebuah status position dan prestise social lainnya yang meninabobokkan.

Shalat dan Puasa yang afdhal dijamin berujung pada ketangguhan pribadi. Sementara Zakat dan Hajji merupakan strategi collaboration yang sinergik yang pasti membuahkan ketangguhan sosial. Semua ini bisa dibayangkan, bagaimana hasilnya ketika siswa dan mahasiswa berhasil menapaki tangga-tangga Rukun Iman dan Rukun Islam secara profesional dan sistemik ?

Akan tetapi, lagi-lagi mengecewakan karena tampaknya, bukan hanya paradigma pendidikan kapitalis yang menyediakan sisa-sisa waktu pembelajaran Rukun Iman dan Rukun Islam. Akan tetapi, seringkali kita menemukan masih banyak pengajar yang belum cerdas mengandalkan Maha Pencipta, sehingga mereka tidak cerdas pula tersungkur dengan meratakan badannya dengan tanah sembari menyatakan “ Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi”. Sebaliknya, saya (ana) adalah “maha rendah di hadapan-Nya”. Tentu saja, tidak bisa diharapkan untuk mengajak, mengajar, mencerdasakan dan mencerahkan murid-muridnya. Lebih ironis lagi, karena kecerdasan memperhambakan diri kepada Tuhan, sungguh tidak dijadikan sebagai persyaratan utama dalam proses rekruitmen tenaga pengajar.

3. Aktualisasi Pendidikan Ihsan

Akhirnya, buah lezat dari semua untaian dan rangkaian proses pendidikan yang berparadigma “Wahyu Sistem” adalah Ihsan sebagai puncak dari sebuah total aksi seseorang dalam memperhambakan diri kepada Ilahi Rabbul Alamin. Ketika Ihsan yang menjadi motivasi dan drive utama seseorang dalam mengembangkan pelbagai aktivitas horisontal dan vertikal, sudah pasti akan terhindar dari segala perilaku kongkalingkon, puji-pujian dan kemunafikan. Betapa tidak, Ihsan yang berarti beribadah seolah melihat Allah, namun apabila belum sukses secara transparan melihat-Nya, maka pasti Allah pasti akan melihatnya.

Betapa memperihatinkan, ketika kita menyaksikan birokrat, guru dan murid yang konsent bekerja dan belajar ketika pimpinan dan gurunya ada di dekatnya. Demikian pula ungkapan Asal Bapak senang (ABS) yang meluncur dari polesan bibir kemunafikan yang kemudian juga menyenangkan pimpinan dan tuan guru. Anehnya lagi, karena bawahan atau murid dan atasan atau guru adalah sama-sama senang dengan ungkapan-ungkapan yang terpoles penuh kebohongan dan kepalsuan itu. Inilah mungkin akibatnya, jika semua kalangan salah didik atau terdidik di bawah panji-panji kapitalisasi pendidikan.

Padahal, jika kita terdidik dengan baik sebagaimana perjalanan kerasulan Muhammad beserta para sahabatnya yang tertempah di bawah panji-panji “Wahyu Sistem”, maka pimpinan dan guru serta bawahan dan murid adalah sama-sama kritis, transparan, dan obyektif rasional, karena juga mereka sama-sama menyenangi kritikan, saran, teguran, saling mengingatkan dan bahkan saling menasehati. Di dalamnya, sangat sulit dijumpai fenomena otoriter, kesombongan intelektual dan bahkan sangat sulit terdengar kata dan kalimat pujian bombastis, gombalisasi, pembohongan, pembodohan dan lain sebagainya yang menyesatkan.

EPILOG. Manusia sebagai khalifatulfilardhi diciptakan beserta potensi spritual, emosional dan fisik. Pada dimensi spritual dikenal adanya energi ilahiah yang terletak pada God Spot sebagai kekuatan inti. Pada dimensi emosional, manusia memiliki radar hati yang mampu menangkap signal dan sekaligus dapat memantau aktivitas fisik dan ruhuyiah yang terpancar dari dalam diri. Sedang pada dimensi fisik sebagai faktor eksternal dapat merubah idealisme spritual secara realistis dan empiris. Namun kemudian ditentukan oleh tingkat kuantitas dan kualitas Zero Mind Processnya.

Karena itulah, paradigma pendidikan harus diarahkan pada upaya pengembangan ESQ Power yang dapat mensinergikan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual menuju par exellence sebagai out put dari fakultas otak dan fakultas ruhani. Hal ini hanya bisa dikembangkan melalui lembaga dan proses pelaksanaan pendidikan di bawah panji-panji “Wahyu Sistem” dalam konteks 6 tangga Rukun Islam dan 5 tangga Rukun Islam serta 1 Ihsan.

Paradigma Wahyu Sistem dapat melahirkan Spritual Center atau God Spot sebagai energi dahsyat yang memiliki kekuatan luar biasa serta mendorong anak manusia menuju puncak pengabdian untuk berjalan pada garis orbit yang telah digariskan. Sementara, paradigma pendidikan kapitalisme sebagaimana yang terjadi saat ini adalah menggiring siswa, pelajar dan mahasiswa serta alumnus pada penyakit “spritual patologis” .

Hanya dengan hasil rakitan sistem pendidikan alternatif seperti inilah, produk lembaga pendidikan mampu memikul amanah Surah Almudatzir, serta hanya dengan potret manusia hasil rakitan seperti ini pulalah yang kelak bisa diharap menciptakan nuansa perkampungan Al Fatiha sebagai kumpulan manusia in-line yang hanya beredar pada garis orbit serta hanya bertitik pusat pada Lillahi Rabbil Alamin . Kapankah ini bisa kita wujudkan ??? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

WAHYU SISTEM, ESQ POWER

DAN PROSES PENDIDIKAN

Oleh

Peribadi

(Staf Pengajar Fisip Unhalu dan Koordinator Umum Mimbar Perancangan Peradaban Inteleksi (MPPI) Sulawesi Tenggara)

PROLOG. Ikhwal kebrutalan pelajar dalam pelbagai aksi yang diperagakan di sekolah serta perilaku pragmatisme out put lembaga pendidikan di berbagai status position, tampak amat signifikan dengan sistem pendidikan nasional yang gagal mencerdaskan dan mencerahkan. Kita yakin, tak seorang pun yang memungkiri, dan apalagi menolak signifiknasi antara degradasi mental dengan sistem pendidikan ala Orde Baru yang hingga saat masih diberlakukan.

Kecerdasan intelektual sebagai orientasi utama yang menelan cukup banyak biaya ekonomi dan biaya sosial, ternyata belum juga berhasil kita gapai. Tak pelak lagi mempersoalkan kecerdasan emosional dan lebih jauh lagi tentang kecerdasan spritual ? Mungkin kita tak ubahnya merabah di kegelapan malam nan gelap gulita.

DIALOGIS. Tak ada salahnya kalau dimulai dengan mempermasalahkan virus pendidikan nasional kita. Di mana sesungguhnya biangkladi proses pendidikan yang hingga kini belum berhasil membentuk karakter dan kepribadian yang tangguh ? Apakah ikhwal ini erat kaitannya dengan kepedulian kita yang memang cenderung menganggap “pendidikan itu kurang penting” ? Dalam konteks dana pendidikan misalnya, memang bisa jadi isyarat bahwa pemerintah belum serius mencerdaskan anak-anak bangsa. Namun yang lebih faktual bahwa filosofi dan paradigma pendidikan kita selama ini enggan menerapkan sistem dan metode pendidikan yang bernuansa Rabbani. Karena boleh jadi kita mengklaim bahwa metodologi pencerahan menurut kerangka Rukun Iman, Islam dan Ihsan berdasarkan “wahyu sistem” adalah konvensional. Meskipun demikian, tulisan ini adalah mencoba mengacu pada Pola Sistematika Wahyu yang dielaborasi oleh murid Abdullah Said dan Pola ESQ Power sebagai rahasia sukses membangun SDM plus yang digagas Ary Ginanjar Agustian.

A. REFLEKSI PARADIGMA WAHYU SISTEM

Pendidikan dalam perspektif “Wahyu Sistem” merupakan Manhaj Rabbani atau Paradigma Pendidikan Ilahiah yang dilatari oleh sebuah upaya maksimal dalam kerangka memenuhi perintah Allah SWT untuk melanjutkan risalah perjuangan Rasulullah Muhammad SAW yang ketika itu terbukti amat sukses mencerahkan para sahabat dan orang-orang di sekitarnya.

Ada rahasia apa yang terkandung dalam proses pengkaderan Nabiullah Muhammad SAW ini ? Pasalnya, prototipe dan profil manusia yang berhasil dirakit menjelmah dari sebuah proses pembelajaran dan pegkaderan dalam kerangka “wahyu Sistem” sebagai sistem pendidikan yang menempah manusia untuk mengenal eksistensi, mencintai alam, lingkungan sekitar, dan mengenal pencipta (Al Khaliq) serta cerdas memperhambakan diri kepada-Nya.

Menurut Uztas Abdullah Said bahwa pola rakitan tersebut sepenuhnya mengikuti perjalanan Kenabian Muhammad yang bermula dari kurun waktu pra wahyu hingga ke kurun waktu wahyu. Dalam konteks “Pra Wahyu”, sejak bayi hingga menanjak remaja, Muhammad diyatimpiatukan, mengembala kambing, berdagang dan kemudian berguahira. Sementara pada masa wahyu, justru perintah tentang membaca (Iqra) dan menulis (Qalam) yang pertama dan kedua diturunkan secara berantai.

Menurut Agustian, keberadaan Muhammad sebagai anak yatim-piatu merupakan proses pembebasan ruang pemikiran dan rongga dada (Zero Mind Process) dari segala macam virus dan bakteri yang terkandung dalam “isme jahiliah” ketika itu. Demikian pula sebagai pengembala kambing, sesungguhnya merupakan proses training center penggodokan, penempahan, dan pengkaderan bagi seseorang yang diprakondisikan untuk menjadi pemimpin masa depan. Dalam artian, sebelum memimpin anak manusia, maka ia terlebih dahulu diuji-coba dalam mengorganisir binatang yang amat susah datur.

Sementara proses kehidupan yang bersunyi-sunyi di Guahira, sesungguhnya merupakan puncak dari sebuah upaya Zero Mind process untuk menyingkirkan atau menanggalkan pelbagai belengguh perbudakan “ilah”. Dan proses penguburan ilah-ilah dimaksud, terus berlangsung hingga memasuki kurun waktu masa wahyu.

Secara spektakuler, konsep, metode dan strategi Wahyu Sistem melalui konsep ESQ Power yang dikembangkan berdasar pada 6 Rukun Iman, 5 Rukun Islam dan Ihsan, Ary Ginanjar dengan sukses gemilang menunjukkan teka-teki misteri sebagai sinyal ketidakmampuan para ahli psikologi terdahulu sekaliber J.B. Watson, Freud, Dana Zohar, Viktor Frankl. Pada satu sisi, Agustian berhasil mengikis kesombongan ilmuawan barat serta para aktivis Maslow-isme dan Darwin-isme yang pada saat ini berlabelkan “Spilis” (Sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Namun pada sisi lain, penemuan spektakuler atas konsep 6, 5 dan 1 mampu mengentaskan kedunguan, kekerdilan dan keterbelakangan kaum penganut agama Tauhid yang selama ini dijangkiti gejala penyakit inferior.

Betapa menakjubkan dan mengagumkan, Nabiullah Muhammad SAW berhasil merakit kecerdasan para sahabatnya dan tentu saja masih ada sebagian kecil pengikutnya di akhir zaman tampil menjadi manusia yang “berhati emas dan bermental baja”. Sementara kita di era teknologi digital kekinian, terkesan dan tampak saling mencemoh, menghujja, memfitnah dan bahkan saling bermusuhan atau saling menumpahkan darah.

Kini, melalui konsep psikologi yang dinamakan “Psikologi Asmaul-Husna” inilah, Agustian dapat memperjelas garis orbit atau garis edar tata surya alam dan tata surya sosial yang secara transparan menempatkan Tuhan sebagai pusat orbit atau pusat gravitasi kecerdasan intelektual, emosional dan kecerdasan spritual yang built in di dalam tubuh anak cucu adam itu sendiri.

1. Aktualisasi Pendidikan Pra Wahyu

Uraian reflektif di atas mengandung makna bahwa paradigma dan strategi pendidikan yang harus diaktualisasikan dalam rangka menumbuhkembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di tengah nestapa masyarakat kontemporer, adalah dengan sistem dan proses pendidikan yang sistemik, universal dan membumi.

Secara sistemik, berarti proses pendidikan yang harus diaktualisasikan sejak awal hingga ke liang lahad adalah sebuah proses pembelajaran yang berlangsung secara integral antara kurun waktu “Pra Wahyu” yang dapat membuahkan kecerdasan emosional serta kecerdasan kreativitas serta masa “wahyu” yang mampu menumbuhkan kecerdasan intelektual. Sedangkan secara universal, proses pendidikan yang dilaksanakan dalam semua tahapan tersebut, harus mampu menciptakan fakultas otak dan fakultas rohani sebagai suatu Universitas Insan Kamil”. Demikian pula secara grounded atau membumi, maka out pun yang harus dijebolkan oleh sebuah lembaga pendidikan adalah potret alumnus yang berkarakter baja, berkepribadian emas dan ikhlas mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara serta cerdas memperhambakan diri kepada Pencipta-Nya.

Pertama, kalau sejak bayi hingga menanjak remaja, diyatimpiatukan, mengembala kambing, berdagang dan berguahira sebagai isyarat perjalanan hidup yang membuahkan pencerahan, pembentukan karakter dan kepribadian tangguh. Maka tentu saja, sistem, strategi dan proses pendidikan yang harus diaktualisasikan dewasa ini, adalah terlebih dahulu kita menyusun sebuah kurikulum yang dapat merefleksikan serta mengaplikasikan makna yatim-piatu ke dalam fakultas otak dan fakultas rohani siswa dan pelajar dari berbagai lingkaran setan kehidupan masyarakat kontemporer. Demikian pula harus ada kurikulum yang beorientasi pada upaya pemusatan latihan (training center) dan pemusatan konsentrasi (concentration center).

Jika Implikasi dari konteks yatim-piatu sebagai Zero Mind Process atas segala macam virus dan bakteri “isme jahiliah tradisional” di Jazirah Arab ketika itu. Maka berarti, kini para siswa dan pelajar dapat diyatim-piatukan dari segala macam virus kehidupan tata dunia baru yang mengganas dan mengkangker di tengah “jahiliah modernisme” dengan cara mengatur waktu atau merumuskan metode tontonan anak-anak di depan layar TV. Demikian pula sangat urgen merumuskan tata cara interaksi sosial dan tindakan komunikasi di ruang sosial pergaulannya. Dengan demikian, sangat dibutuhkan kepekaan, kepedulian dan partisipasi semua pihak, terutama kedua orang tua dan guru sekolah formal dan non formal.

Kedua, selain ikhwal kurikulum yang bermakna pembebasan, juga takkala pentingnya program pengembangan potensi fisik yang bernuansa kemampuan mengorganisir melalui suatu pola dan mekanisme training center. Jika proses pengembangan fisik Muhammad digenjot melalui bentuk pengembalaan jenis binatang. Maka, sudah saatnya pemerintah merumuskan suatu pola kontesktual yang dapat memprakondisikan putra-putri bangsa sebagai calon pemimpin masa depan. Hal ini, tentu saja membutuhkan kajian yang lebih khusus dengan melibatkan semua stakeholder dalam upaya merumuskan pola dan mekanisme yang lebih konstruktif dan aplikatif. Namun Paling tidak, dengan pola tersebut dapat menggenjot sense of belonging dan sense of responsibility siswa-siswi termasuk mahasiswa. Karena tidak mengherankan, apabila dewasa ini bangsa dan negara tercinta ini tengah dilanda krisis jati diri dan figur pemimpin di berbagai lembaga supra struktur dan infra struktur yang dapat ditauladani. Pasalnya, selama ini belum ada di dalam kurikulum pendidikan yang dapat mempersiapkan secara khusus generasi masa depan yang dapat mengidentifikasi bakat dan kecenderungan mereka untuk menjadi seorang yang professional. Pada gilirannya, yang terjadi adalah kecenderungan tampil secara insidental untuk menjadi guru, politisi, pengusaha dan penguasa ke depan.

Ketiga, jual beli dan berdagang sebagai salah catatan penting yang menandai proses perjalanan kerasulan Muhammad, sesungguhnya selain merupakan training kemandirian kehidupan sosial ekonomi, juga merupakan konkritisasi dari sifat kejujuran yang sejak awal memang telah dimilikinya. Karena itu, ikhwal kurikulum Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang kini mulai santer diwacanakan, selain memang sebagai indikasi kekecewaan semua pihak atas perilaku pragmatisme yang ditunjukkan tanpa rasa malu oleh oknum aparat, juga mungkin merupakan sebuah refleksi dari kesadaran yang sudah memuncak akan betapa urgennya sebuah sistem pendidikan alternatif yang dapat mengentaskan rasa dan sikap kejujuran anak-anak zaman.

Jika demikian, di dalam menyusun konsep kurikulum pendidikan yang dapat melahirkan manusia-manusia “Al Amin”, maka semua komponen perjalanan kehidupan dan kenabiaan Muhammad harus menjadi muatan integral dan interdependen. Sebaliknya, konsep kurikulum yang akan dirumuskan tidak boleh bersifat tambal sulam. Akan tetapi, harus merefleksikan secara totalitas sejak keberadaan Muhammad dalam kandungan yang ditinggal pergi ayahnya kemudian lahir menjadi bayi yang juga ditinggal mati ibunya. Demikian pula kepada Pamannya yang satu-satunya tempat belaian kasih dan sayangnya, pun pergi meninggalkannya.

Dalam konteks ini, tidak berarti bahwa kita mengharapkan agar pelaku kasih saying siswa dan siswi, pun harus pergi meninggalkannya. Akan tetapi, harus tercipta sebuah proses pembelajaran yang dapat menumbuhkan jiwa kemandirian sang anak. Dalam artian, tidak boleh ada sesuatu (ilah) yang dapat diandalkan sebagai tempat bergantung, kecuali kepada Tuhan pencipta alam semesta. Demikian pula, tidak berarti sang anak harus mengembala kambing, akan tetapi harus ada implikasi pengembalaan dalam sebuah kurikulum yang dapat menumbuhkan jiwa kemandirian.

Betapa tidak, selain jiwa kemandirian yang pada gilirannya dapat membuahkan visi, persepsi, sikap dan perilaku kejujuran, juga pada akhirnya dapat menciptakan jiwa kemerdekaan universal yang kehadirannya saat ini sangat dirindukan masyarakat yang dibingungkan oleh perilaku pragmatisme aparat serta perilaku generasi manja, cengeng dan emosional. Upaya antisipatif atas ikhwal ini, sungguh-sungguh mendesak direkonstruksi melalui suatu sistem pembelajaran integral yang religius, humanis dan arif.

Keempat, Akhirnya proses kehidupan yang bersunyi-sunyi di Guahira, sesungguhnya merupakan puncak dari sebuah upaya Zero Mind process untuk menyingkirkan atau menanggalkan pelbagai belengguh perbudakan “ilah” yang cenderung diandalkan oleh orang-orang yang dijangkiti gejala kematian akal sehat. Betapa ironisnya, ketika kita mendengar seorang kandidat yang menjadi public figur menghadap ke haribaan seorang dukun (paranormal) yang dianggap sakti manderaguna untuk memintai campur tangannya dalam memasuki arena pertarungan Pilkada atau ketika ingin merenggut sebuah status position.

Sebaliknya, betapa pula mengagungkan ketika membaca sebuah hasil penelitian yang berhasil menemukan rahasia kesuksesan yang gilang-gemilang dicapai oleh salah satu perusahan raksasa di Jepang. Resep jitu yang diinformasikan oleh Agustian bahwa para karyawan sebelum memasuki arena pekerjaan rutinitas, terlebih dahulu digiring ke dalam suatu ruangan kosong untuk melakukan perenungan (kontemplatif) selama ± 5 menit. Demikian pula ketika di siang hari seusai kerja keras, para karyawan kembali digiring ke dalam ruangan kosong tersebut dan seterusnya menjelang mereka kembali ke rumah dan hingga pada esok harinya kembali melakukan praktek yang sama.

Kalau kita menyadari bersama bahwa bagi mererka yang kebetulan beragama Islam, sesungguhnya sudah tersedia resep perenungan yang lebih substansial dalam bentuk shalat subuh yang dilakukan sejak bangun tidur, shalat wadduha yang dilakukan sebelum beranjat beraktivitas dan kembali shalat dhuhur sesusai beraktivitas dan seterusnya shalat azhar.

Atas dasar pola ini, maka selain memang merupakan kewajiban sebagai umat beragama, juga telah berhasil dibutikan secara aplikatif sebagai kunci kesuksesan yang memuncak digapai oleh seorang pengusaha raksasa. Maka berarti, sangat relevan jika sebelum proses belajar mengajar di dalam kelas dilangsungkan, terlebih dahulu siswa-siswi dibekali metode kontempelasi, atau sekalian menjadi aturan khusus untuk mempraktekkan shalat wadduha secara berjamaah sebelum memulai belajar.

2. Aktualisasi Pendidikan Wahyu

Secara sistemik, dalam konteks wahyu ini, surat Al Alaq perintah tentang membaca justru paling pertama dan utama diwahyukan Allah SWT. Kian menakjubkan lagi, karena surat Al Qalam perintah menulis menjadi skala prioritas wahyu kedua yang turun dari langit. Dengan demikian, berarti proses pembelajaran harus dimulai dengan metode membaca dan menulis. Jika kedua program awal ini dapat berlangsung maksimal, maka sudah pasti fakultas otak dapat terbangun dengan produk kecerdasan intelektual yang mampu membaca dengan kerangka “Isme Rabbika”. Ikhwal ini sangat urgen, karena selain bangsa dan negara kita belum berhasil memproduk out put lembaga pendidikan yang setara dengan negara-negara tetangga, juga tampak fenomenal adanya perilaku kesombongan intelektual. Sementara itu, nestapa kehidupan bangsa dan negara kita tercinta ini, sangat membutuhkan kehadiran intelektual dan cendikia-cendikia yang cerdas memperhambakan diri kepada pencipta-Nya melalui proses pembelajaran dengan kerangka “Isme Rabbika” dimaksud. Karena out put pendidikan yang selama ini merupakan hasil karya, rasa dan cipta “isme kapitalis”. Sehingga tidak mengherankan, kalau kontribusi kaum ilmuawan cenderung kolutif dengan penguasa untuk menggapai kepentingan dan kepuasan temporer.

Kian mencengangkan lagi, karena ketika fakultas otak sudah dianggap mapan dan tangguh oleh Allah SWT, maka penguasa kerajaan langit dan bumi yang Maha segala-Nya ini mewahyukan kerangka lanjutan metodologis, yakni menurunkan surat Al-Muzammil sebagai resep jitu untuk menumbuhkembangkan kecerdasan emosional dan spritual dalam sebuah lembaga pendidikan yang disebut Fakultas Rohani.

Tentu saja dengan menyadari panorama kehidupan moderen dengan segala dampaknya dalam konteks paradigma pendidikan kapitalistis yang menindas. Maka, selain pentingnya keberadaan fakultas otak dalam kerangka Isme Rabbika tersebut, juga sangat dibutuhkan proses pengembangan fakultas rohani yang mampu memproses kecerdasan emosional dan sekaligus peletakan dasar kecerdasan spiritual. Atas dasar inilah, sehingga Allah SWT menurunkan Surat ketiga Al Muzammil sebagai upaya pendakian rohani menuju kebangkitan spiritual melalui upaya bangun malam untuk bertahajjud ketika semua orang terlena di bantal balutan. Potensi Rohani hanya bisa digapai dengan metode qiyamul lail, bukan dengan cara mendatangi dukun atau paranormal yang nota-bene sakti mandera-guna yang sekaligus mungkin palsu.

Pada gilirannya, seorang muslim sejati yang telah memperoleh potensi fakultas otak dan rohani melalui proses pembelajaran dari ketiga surat yang diturunkan terdahulu. Maka seterusnya, diuji-coba pola pikir, sikap dan prilaku serta nuraninya secara lebih ulet, tanguh dan tajam dengan amanah dakwah melalui perintah surat keempat Al Mudatsir.

Dalam tataran pergumulan dan pergulatan inilah, seabrek simbol pejuang dan sejenisnya mungkin berguguran. Namun bagi mereka yang telah menyatukan langkah dengan perintah Al Mudatsir, besar peluang untuk berhasil melewati medan jihad dan akan menelorkan life university dan kampus peradaban Islam yang bernuansa Rahman dan Rahim sebagai refleksi dari surat kelima Al Fatihah.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa pola Nuzulnya Wahyu ini, kita tidak coba refleksikan dan aplikasikan dalam kerangka kita mencerdaskan dan mencerahkan anak-anak bangsa ini ? Mengapa kita tidak mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang di dalamnya, terdapat fakultas otak dan fakultas rohani dengan konsep kurikulum integral dan interdependen yang bermuatan metode membaca, menulis, berkontempelasi (Shalat) dan beraktivitas (dakwah), sehingga siswa, pelajar, mahasiswa cerdas menciptakan perkampungan Al Fatiha yang penuh Rahman dan Rahim-Nya ? Dan mengapa UU, PP dan Perda pendidikan yang dijebolkan selama ini masih enggan mengikuti Paradigma Wahyu system tersebut?

B. ESQ POWER

Menurut Agustian, upaya Zero Mind Process (ZMP) melalui metode kontemplatif (berguahira) adalah betujuan untuk mengikis semua unsur yang menutup bingkai “God Spot” (Fitrah) dalam bentuk prasangka negatif, prinsip hidup, pengalaman hidup, vested interes, sudut pandang, perbandingan dan pengaruh referensi bacaan. Proses penguburan Virus dan bakteri seperti inilah yang pertama harus menjadi muatan program fundamental dalam suatu kurikulum pendidikan integral. Tampaknya, pengembangan program seperti ini telah berlangsung pada kurun waktu “Pra Wahyu”.

1. Aktualisasi Pendidikan Rukun Iman

Namun ketika memasuki masa “Wahyu”, maka program kedua, adalah mengarah pada upaya pembangunan mental (mental building) peserta didik melalui 6 tangga Rukun Iman yang selama ini tidak berhasil dinikmati khasiat tabletnya. Karena disamping hanya menjadi bahan hapalan temporal siswa, juga tidak dijelaskan kandungan prinsip subtansial yang termaktub di dalamnya.

Betapa kesenjangan menganga lebar dan tak ubahnya antara langit dan bumi jaraknya. Dalam kurikulum pendidikan nasional dan seluruh daerah pada umumnya, belum pernah ada upaya mengkaji Star Prinsip imaniah sebagai tangga pertama bertaqarrub kepada Tuhan sebagai pusat dari segala unsur peredaran tata surya alam dan tata surya sosial. Belum ada keseriusan upaya pengendalian Angel Prinsip kepercayaan kepada sifat istiqamah dan kejujuran yang menjadi karakter khas para Malaikat, sehingga siswa-siswi tidak mengetahui bahwa ternyata maksud kita untuk percaya kepada Malaikat, adalah berarti sekaligus mengikuti ketaatan dan kejujuran Malaikat.

Tak pelak lagi kepercayaan kepada pengendalian Leadership Principle kepada potret, profil dan prototipe kepemimpinan Rasulullah yang harus diidolakan serta disuritauladani, sehingga siswa-siswi mengalami krisis idola dan bahkan cenderung mengidolakan figur-figur lain yang mungkin saja amoral dan asosial. Hingga kini, sungguh-sungguh belum maksimal kepercayaan kita kepada Al Kitab yang sesungguhnya mengandung Learning Principle sebagai sumber pengatahuan dan kerangka konseptual-teoritis dalam upaya membedah fenomena alam dan sosial kemasyarakatan. Selama ini, siswa, pelajar dan mahasiswa tidak memahami bahwa percaya kepada Kitab Suci adalah berarti harus memiliki kebudayaan membaca dan sikap peradaban keilmuan yang mencerahkan dan mensejahterakan kehidupan sekitar. Bukan sebaliknya, tidak kritis dan bahkan cenderung kolutif terhadap pelaku dehumanisasi, deforestasi dan degradasi peradaban yang kemudian menjelmah menjadi kebiadaban.

Percaya pada hari kemudian sebagai Vision Principle yang berorientasi pada jangka panjang, tampak dan tarasa sekali terabaikan oleh hampir semua kalangan, terutama kaum elite yang diamanahi jabatan sekonyong-konyong mereka menjelmah menjadi “Orang Kaya Baru (OKB)”. Hal ini terjadi, karena selama mereka di bangku pendidikan, belum pernah diajarkan bahwa percaya pada hari kemudian adalah berarti harus berpikir ke depan. Bukan berpikir dengan pola “memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, mengunting dalam lipatan dan memancing di air keruh” yang kini digandrungi oleh kebanyakan warga masyarakat kontemporer.

Akhirnya, pengendalian Well Organized Principle merupakan sebuah kepercayaan atas keteraturan hukum alam dan hukum sosial yang telah didesain sedemikian rapi dan tunduk atas segala ketentuan Allah SWT. Pada umumnya, mungkin kita benar-benar “salah didik”, karena kita tidak pernah diajarkan sebuah refleksi kehancuran yang akan terjadi, apabila ada salah satu planet tata surya alam yang tidak beredar pada garis edar (keluar dari garis edar) yang telah digariskan Pencipta-Nya. Dapat dibayangkan, jika planet Mars misalnya, minggir atau miring dari edarnya, maka seketika langit dan bumi beserta seluruh isinya, hancur berantakan.

Namun patut disayangkan, karena seolah kasus kehancuran tata surya alam tersebut, selain terabaikan oleh kerangka referensi yang berbasis kurikulum, juga belum menjadi inisiatif tersendiri bagi kaum pengajar yang seharusnya cerdas berimprovisasi dengan refleksi-refleksi pemikiran yang bernuansa pendidikan. Akibatnya, tidak terbayangkan dan bahkan seolah dianggap tidak sama bahwa kalau ada salah satu planet yang keluar garis edar, maka tata surya alam akan porak-poranda. Sesungguhnya, hal ini sama-sama terjadi dalam konteks tata surya sosial bahwa jika ada salah satu planet Partai Politik misalnya, keluar dari platform politik atau koridor politik yang telah digariskan, maka tata surya sosial kita akan mengalami kehancuran sebagaimana berantakannya tata surya alam dimaksud.

Demikian pula dalam konteks Ipoleksosbud lainnya. Saksikanlah kini, bagaimana berantakan dan kacau balaunya roda perpolitikan, perekonomian, pemerintahan dan nilai-nilai kebudayaan kita. Semua ini terjadi, akibat dari oknum-oknum yang bersangkutan cenderung keluar dan menyimpang dari aturan main yang telah digariskan. Karena itulah, selain muatan kurikulum yang berbasis “Isme Rabbika” belum menjadi perhatian yang menarik bagi kalangan pengambil kebijakan di bidang pendidikan, juga proses rekruitmen tenaga pengajar yang belum menjadikan indikator penilaian kelulusan dan ketidaklulusan atas kemampuan daya pikir reflektif calon pengajar dimaksud. Akibatnya, betapa banyak pengajar yang tidak hanya belum memiliki kemampuan daya pikir reflektif. Akan tetapi, juga betapa banyak yang telah tampil menjelmah menjadi “guru dadakan” karena faktor pencarian lapangan kerja.

2. Aktualisasi Pendidikan Rukun Islam

Dalam konteks yang lebih aplikatif, maka proses belajar yang harus dikembangkan dalam upaya menggapai ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial adalah melalui 5 tangga Rukun Islam. Penetapan misi (Mission Statemen) sebagai tangga pertama yang harus diucapkan secara sadar, disamping merupakan konkritisasi dan manifestasi Zero Main Process yang menghasilkan angka 0 dan hingga memunculkan angka 1 (Laa: 0 Ilaha dan Illallah: 1). Angka 1 yang apabila dibagi dengan angka 0, maka hasilnya hampir mendekati tak terhingga. Artinya, apabila kita menuhankan Allah Yang Satu dan kemudian kita meletakkan diri dalam status hamba sebagai proses dari menzerokan diri di hadapan-Nya, maka kita akan menuju dan taqarrub kepada kekuatan Sang Maha Tak Terhingga. Dan pada saat inilah kita mampu memfungsikan kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual sebagai senjata pamungkas yang amat handal dan tak ada sesuatu pun yang mampu menandingi-Nya.

Kian jelas bahwa kalau beberapa bentuk abastraksi yang telah dilewati sebelumnya sebagai upaya eliminasi dan netralisasi berbagai virus dan belenggu yang melingkari kehidupan ini. Maka kini, mulai dikonkritkan dalam sebuah statemen ikrar yang ditandaskan secara berulang kali bahwa “tiada sesuatu pun di bumi dan di langit yang patut dinomorsatukan, kecuali Tuhan Yang Maha Atas Segalanya”. Dalam artian, yang lain adalah boleh-boleh saja dipercaya dan diandalkan. Akan tetapi, semua yang lain itu harus dinomorduakan atau dinomorsekiankan. Ikhwal inilah yang harus tertancapkan ke dalam pikiran dan nurani pada pelajar dan terpelajar. Akan tetapi, bagaimana bisa membumikan ikrar tersebut, jika tidak ditopang oleh perangkat keras dan perangkat lunak sistem pendidikan nasional ? Sementara itu, kenyataan empirik menunjukkan bahwa out put lembaga pendidikan setinggi apapun saat ini, tampaknya cenderung dan bahkan cukup faktual mendewakan harta, tahta dan wanita (3 TA). Akibatnya, berbagai cara (menghalalkan berbagai cara) yang digunakan oleh anak-anak zaman dalam menggapai sebuah status position dan prestise social lainnya yang meninabobokkan.

Shalat dan Puasa yang afdhal dijamin berujung pada ketangguhan pribadi. Sementara Zakat dan Hajji merupakan strategi collaboration yang sinergik yang pasti membuahkan ketangguhan sosial. Semua ini bisa dibayangkan, bagaimana hasilnya ketika siswa dan mahasiswa berhasil menapaki tangga-tangga Rukun Iman dan Rukun Islam secara profesional dan sistemik ?

Akan tetapi, lagi-lagi mengecewakan karena tampaknya, bukan hanya paradigma pendidikan kapitalis yang menyediakan sisa-sisa waktu pembelajaran Rukun Iman dan Rukun Islam. Akan tetapi, seringkali kita menemukan masih banyak pengajar yang belum cerdas mengandalkan Maha Pencipta, sehingga mereka tidak cerdas pula tersungkur dengan meratakan badannya dengan tanah sembari menyatakan “ Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi”. Sebaliknya, saya (ana) adalah “maha rendah di hadapan-Nya”. Tentu saja, tidak bisa diharapkan untuk mengajak, mengajar, mencerdasakan dan mencerahkan murid-muridnya. Lebih ironis lagi, karena kecerdasan memperhambakan diri kepada Tuhan, sungguh tidak dijadikan sebagai persyaratan utama dalam proses rekruitmen tenaga pengajar.

3. Aktualisasi Pendidikan Ihsan

Akhirnya, buah lezat dari semua untaian dan rangkaian proses pendidikan yang berparadigma “Wahyu Sistem” adalah Ihsan sebagai puncak dari sebuah total aksi seseorang dalam memperhambakan diri kepada Ilahi Rabbul Alamin. Ketika Ihsan yang menjadi motivasi dan drive utama seseorang dalam mengembangkan pelbagai aktivitas horisontal dan vertikal, sudah pasti akan terhindar dari segala perilaku kongkalingkon, puji-pujian dan kemunafikan. Betapa tidak, Ihsan yang berarti beribadah seolah melihat Allah, namun apabila belum sukses secara transparan melihat-Nya, maka pasti Allah pasti akan melihatnya.

Betapa memperihatinkan, ketika kita menyaksikan birokrat, guru dan murid yang konsent bekerja dan belajar ketika pimpinan dan gurunya ada di dekatnya. Demikian pula ungkapan Asal Bapak senang (ABS) yang meluncur dari polesan bibir kemunafikan yang kemudian juga menyenangkan pimpinan dan tuan guru. Anehnya lagi, karena bawahan atau murid dan atasan atau guru adalah sama-sama senang dengan ungkapan-ungkapan yang terpoles penuh kebohongan dan kepalsuan itu. Inilah mungkin akibatnya, jika semua kalangan salah didik atau terdidik di bawah panji-panji kapitalisasi pendidikan.

Padahal, jika kita terdidik dengan baik sebagaimana perjalanan kerasulan Muhammad beserta para sahabatnya yang tertempah di bawah panji-panji “Wahyu Sistem”, maka pimpinan dan guru serta bawahan dan murid adalah sama-sama kritis, transparan, dan obyektif rasional, karena juga mereka sama-sama menyenangi kritikan, saran, teguran, saling mengingatkan dan bahkan saling menasehati. Di dalamnya, sangat sulit dijumpai fenomena otoriter, kesombongan intelektual dan bahkan sangat sulit terdengar kata dan kalimat pujian bombastis, gombalisasi, pembohongan, pembodohan dan lain sebagainya yang menyesatkan.

EPILOG. Manusia sebagai khalifatulfilardhi diciptakan beserta potensi spritual, emosional dan fisik. Pada dimensi spritual dikenal adanya energi ilahiah yang terletak pada God Spot sebagai kekuatan inti. Pada dimensi emosional, manusia memiliki radar hati yang mampu menangkap signal dan sekaligus dapat memantau aktivitas fisik dan ruhuyiah yang terpancar dari dalam diri. Sedang pada dimensi fisik sebagai faktor eksternal dapat merubah idealisme spritual secara realistis dan empiris. Namun kemudian ditentukan oleh tingkat kuantitas dan kualitas Zero Mind Processnya.

Karena itulah, paradigma pendidikan harus diarahkan pada upaya pengembangan ESQ Power yang dapat mensinergikan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual menuju par exellence sebagai out put dari fakultas otak dan fakultas ruhani. Hal ini hanya bisa dikembangkan melalui lembaga dan proses pelaksanaan pendidikan di bawah panji-panji “Wahyu Sistem” dalam konteks 6 tangga Rukun Islam dan 5 tangga Rukun Islam serta 1 Ihsan.

Paradigma Wahyu Sistem dapat melahirkan Spritual Center atau God Spot sebagai energi dahsyat yang memiliki kekuatan luar biasa serta mendorong anak manusia menuju puncak pengabdian untuk berjalan pada garis orbit yang telah digariskan. Sementara, paradigma pendidikan kapitalisme sebagaimana yang terjadi saat ini adalah menggiring siswa, pelajar dan mahasiswa serta alumnus pada penyakit “spritual patologis” .

Hanya dengan hasil rakitan sistem pendidikan alternatif seperti inilah, produk lembaga pendidikan mampu memikul amanah Surah Almudatzir, serta hanya dengan potret manusia hasil rakitan seperti ini pulalah yang kelak bisa diharap menciptakan nuansa perkampungan Al Fatiha sebagai kumpulan manusia in-line yang hanya beredar pada garis orbit serta hanya bertitik pusat pada Lillahi Rabbil Alamin . Kapankah ini bisa kita wujudkan ??? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.